Archive for Maret 2017
PSIKOTERAPI
By : Rizki Candra Irawan
Nama : Rizki Candra Irawan
Kelas : 3PA11
NPM : 19514612
PSIKOTERAPI
A. Sejarah
Psikoterapi
Menyembuhkan
orang sakit melalui pengaruh hubungan antara seorang dengan orang lain sudah
lama dilakukan, setua umur manusia di dunia ini. Jauh sebeluim ditemukan cara
pengobatan untuk menyembuhkan orang sakit, sudah disadari adanya pengaruh yang
bisa diberikan untuk mempengaruhi sesuatu penyakit, dengan menanamkan atau
meningkatkan perasaan sehat. Dilihat dari sudut ini, jelas sekali bahwa bentuk
penyembuhan yang kemudian dikenal dengan psikoterapi, pada hakekatnya sudah
lama sekali dilakukan. Kekuatan-kekuatan yang dianggap bisa menyembuhkan orang
sakit melalui ilmu gaib, takhayul dan kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan
yang ada di luar akal manusia dan yang bisa dimiliki oleh para sesepuh, para
orang pintar, antara lain tokoh agama, mewarnai cara penyembuhan berabad-abad yang
lalu, jauh sebelum masehi. Kemudian muncul tokoh-tokoh seperti Aristoteles dan
Hippocrates pada zaman yunani kuno. Hippocrates sebagai “bapak” dari ilmu
kedokteran modern, yang memperhatikan penggunaan metode observasi, pengontrolan
dan penyimpulan rasional dari suatu gejala. Sekalipun pendekatan naturalistik
ini tidak secara implisit dipergunakan untuk menangani penderita-penderita
sakit jiwa, namun mereka sebenarnya sudah banyak mempergunakan teknik
psikoterapi untuk menangani penderita-penderita sakit jiwa, seperti misalnya
rekreasi, istirahat, berpantang makan, pemijatan dan latihan fisik. Seorang
prajurit yang gelisah misalnya akn dibawa ke kuil, dibaringkan dibalai dari
batu, disuruh menenangkan diri dan mendengarkan kalimat-kalimat yang berisikan
nasihat yang diberikan secara bijaksana oleh rohaniwan atau tokoh yang diakui
keahliannya dibidang kesehatan. Sayang sekali apa yang sudah dikemukakan oleh
Hippocrates kemudian tenggelam lagi pada zaman romawi dan pada abad-abad
pertengahan, ketika kekuatan-kekuatan supernaturalisme muncul dan berpengaruh
kembali. Namun perkembangan terjadi, ketika pada abad ke 18, perhatian terhadap
cara merawat penderita sakit jiwa meningkat. Mereka diperlakukan lebih
manusiawi dan tempat penampungan untuk orang sakit jiwa berubah menjadi rumah
sakit dengan penanganan yang lebih baik. Pada tahun 1780, Pinel memperkenalkan
pendektan melalui sikap ramah di rumah sakit dan ini dianggap sebagai permulaan
dari pendekatan baru. Kemudian pada awal abad ke 19, muncul latihan penguasaan
diri sebagai teknik perubahan perilaku, jadi sebagai teknik psikoterapi. Teknik
ini berawal dari teknik hukuman untuk mengubah dan merkonstruksi seseorang agar
kembali seperti keadaan sebelumnya. Suatu teknik yang juga dipakai sebagai
dasar untuk merawat penderita penyakit “Mania”
oleh psikiater yang punya nama besar yakni Benjamin rush, sekalipun ia adalah
pelopor perubahan pendekatan dengan dasar kemanusiaan dalam menghadapi
penderita sakit jiwa. Tokoh pembaharu lain adalah Dorothea Lynde Dix yang
memprotes perlakuan keras dan kejam terhadap penderita sakit jiwa dan
mengingatkan bahwa mereka juga mempunyai kebutuhan akan kebebasan fisik.
Dipengaruhi
oleh pendekatan oleh pendekatan kemuansiaan inilah kemudian muncul teknik
hypnosis dan sugesti. Dari Austria muncul nama Anton Mesmer sebagai tokoh yang
mempergunakan teknik hypnosis dengan sugesti-sugestinya untuk mengubah
dorongan-dorongan psikis pada mereka yang mengalami gangguan neurotik terutama
penderita histeria, agar terjadi perubahan pada perilakunya. Pada abad ke 19,
teknik hypnosis ini diperbarui oleh Jean-Martin Charcot dan Hyppolite Bernheim
di perancis dan orientasinya menjadi lebih jelas, yakni bahwa
gangguang-gangguan kejiwaan antara lain dilatar belakangi oleh faktor-faktor
psikologis. Faktor-faktor ini bisa terdapat dibawah alam sadar seseorang yang
ternyata menjadi faktor yang penting sekali dan yang telah melahirkan seorang
besar dalam dunia pengetahuan, khususnya dalam bidang psikoterapi, yakni
Sigmund Freud. Kemudia dunia menganal Sigmund Freud sebagai tokoh luar biasa,
tokoh yang jenius, yang menemukan sesuatu yang besar sekali pengaruhnya dalam
dunia pengetahuan, kedokteran, psikiatri, psikologi, sehingga dianggap sebagai
revolusi dalam dunia psikoterapi. Oleh Freud dunia pengetahuan diperkenalkan
dan diperkaya dengan banyak teori dan terminologi baru, khususnya Psikoanalisis
sebagai teknik psikoterapi.
B. Pengertian
Psikoterapi
Psikoterapi
adalah suatu interaksi sistematis antara pasien dan terapis yang menggukan
prinsip-prinsip psikologis untuk membantu menghasilkan perubahan dalam tingkah
laku, pikiran, dan perasaan pasien supaya membantu pasien mengatasi tingkah
laku abnormal dan memcahkan masalah-masalah dalam hidup atau berkembang sebagai
seorang individu. Ciri-ciri dari definisi mengenai psikoterapi ini akan
dijelaskan dalam uraian yang berikut.
1. Interaksi sistematis.
Psikoterapi adalah suatu proses yang menggunakan interaksi antara pasien dan
terapis. Kata sistematis disini
berarti terapis menyusun interaksi-interaksi dengan suatu rencana dan tujuan
khusus yang menggambarkan segi pandangan teoritis terapis.
2. Prinsip-prinsip psikologis. Psikoterapis
menggunakan prinsip-prinsip, penelitian, dan teori-teori psikologis serta
menyusun interkasi terapeutik.
3. Tingkah laku, pikiran, dan
perasaan. Psikoterapi memusatkan perhatian untuk membantu
pasien mengadakan perubahan-perubahan behavioral, kognitif dan emosional serta
membantunya supaya menjalani kehidupan yang lebih penuh dan memuaskan.
Psikoterapi mungkin diarahkan pada salah satu atau semua cirri dari fungsi
psikologis ini.
4. Tingkah laku abnormal, memecahkan
masalah, dan pertumbuhan pribadi. Sekurang-kurangnya ada
tiga kelompok pasien yang dibantu oleh psikoterapi. Kelompok pertama adalah orang-orang yang mengalami masalah-masalah
tingkah laku yang abnormal seperti, gangguan skizofrenia. Untuk beberapa
gangguan ini, tertuama gangguan bipolar dan skizofrenia, terapi biologis
umumnya memainkan peranan utama dalam perawatan. Meskipun demikian, selain
perawatan biologis, psikoterapi membantu pasien belajar tentang dirinya sendiri
dan memperoleh keterampilan-keterampilan yang akan memudahkannya mengulangi
tantangan hidup dengan lebih baik. Kelompok
kedua adalah orang-orang yang meminta bantuan untuk menangani
hubungan-hubungan yang bermasalah atau menangani masalah-masalah pribadi yang
tidak cukup berat untuk dianggap abnormal, seperti perasaan malu atau bingung
mengenai pilihan-pilihan karier. Kelompok
ketiga adalah orang-orang yang mencari psikoterapi karena psikoterapi
dianggap sebagai sarana untuk memperoleh pertumbuhan pribadi. Bagi mereka,
psikoterapi adalah sarana untuk penemuan diri dan peningkatan kesadaran yang
akan membantu mereka untuk mencapai potensi yang penuh sebagai manusia.
C.
Tujuan Psikoterapi (Huffman, et al., 1997)
1. Pikiran-pikiran kalut.
Individu-individu yang mengalami kesulitan secara khas menderita konfusi,
pola-pola pikiran yang destruktif, atau tidak memahami masalah-masalah mereka
sendiri. Para terapis berusaha mengubah pikiran-pikiran ini dan memberikan
ide-ide atau informasi baru, dan membimbing individu-individu tersebut untuk
menemukan pemecahan-pemecahan terhadap masalah-masalah mereka sendiri.
2. Emosi-emosi yang kalut.
Orang-orang yang mencari terapi pada umunya mengalami emosi yang sangat tidak
menyenangkan. Dengan mendorong pasien untuk mengungkapkan secara bebas
perasaan-perasaan tersebut, seperti perasaan putus asa dan perasaan tidak mampu
dengan perasaan-perasaan yang mengandung harapan dan percaya akan diri sendiri.
3. Tingkah laku-tingkah laku yang
kalut. Individu-individu yang mengalami kesulitan biasanya
memperlihatkan tingkah laku-tingkah laku yang mengandung masalah. Para terapis
membantu pasien-pasien mereka menghilangkan tingkah laku-tingkah laku yang
menganggu itu dan membimbing mereka kepada kehidupan yang lebih efektif.
4. Kesulitan-kesulitan antarpribadi
dan situasi kehidupan. Para terapis membantu pasien-pasien
memperbaiki hubungan mereka dengan keluarga, teman-teman, dan kolega-kolega
seprofesi. Mereka juga membantu para pasien itu menghindari atau mengurangi
sumber-sumber stress dalam kehidupan mereka seperti tuntutan-tuntutan pekerjaan
atau konflik-konflik keluarga.
5. Gangguan-gangguan biomedis. Individu-individu
yang mengalami kesulitan kadang-kadang menderita gangguan-gangguan biomedis
yang langsung menyebabkan atau menambah kesulitan-kesulitan psikologis.
D. Unsur-unsur
Psikoterapi (Masserman, 1984)
1. Peran
sosial (martabat) psikoterapis
2. Hubungan
(persekutuan terapeutik)
3. Hak
4. Retropeksi
5. Re-edukasi
6. Rehabilitasi
7. Resosialisasi
8. Rekapitulasi
E. Aliran
Psikologi
1. Gestalt
Terapi Gestalt dikembangkan oleh
Frederick Perls adalah bentuk terapi eksistensial yang berpijak pada premis
bahwa individu –individu harus menemukan jalan hidupnya sendiri dan menerima
tanggung jawab pribadi jika mereka mengharap kematangan. Karena bekerja
terutama di atas prinsip kesadaran, terapi Gestalt berfokus pada “apa “ dan “
bagaimana”-nya tingkahlaku dan pengalaman di sini- dan sekarang dengan memadukan (mengintegrasikan)
bagian-bagian kepribadian yang terpecah dan tidak diketahui. Asumsi dasar
terapi Gestalt adalah bahwa individu-individu mampu menangani sendiri
masalah-masalah hidupnya secara efektif. Tugas utama terapis adalah membantu klien
agar mengalami sepenuhnya keberadaannya di sini dan sekarang dengan
menyadarkannya atas tindakannya mencegah diri sendiri merasakan dan mengalami
saat sekarang. Oleh karena itu terapi Gestalt pada dasarnya non-interpretatif
dan sedapat mungkin klien menyelenggarakan terapi sendiri. Mereka membuat
penafsiran-penafsirannya sendiri, menciptakan pernyataan-pernyataanya sendiri,
dan menemukan maknamaknanya sendiri. Akhirnya, klien didorong untuk langsung
mengalami perjuangan disini-dan –sekarang terhadap urusan yang tak selesai di
masa lampau. Dengan mengalami konflik-konflik, meskipun hanya membicarakannya,
klien lambat laun bisa memperluas kesadarannya.
Fritz Perls menggunakan terapi
Gestalt secara paternalistik. Klien harus tumbuh dan berdiri diatas kedua
kakinya, dan mempersoalkan masalah hidupnya sendiri (Perls, 1969). Gaya
melakukan terapinya meliputi dua agenda personal : memindahkan klien dari
dukungan/pengaruh lingkungan pada dukungan/ pengaruh dirinya sendiri dan
memadukan kembali bagian-bagian kepribadian yang diingkari. Jelasnya, cara
kerja Perls, terapi Gestalt secara kontemporer menekankan dialog antara klien
dan ahli terapi. Pandangan Gestalt pada perangai manusia berdasarkan pilosofi
eksistensial, fenomenologi, dan teori lapangan. Tujuan terapi bukan pada
analisis tetapi pada kesadaran dan hubungan dengan lingkungan. Dimana
lingkungan terdiri dari dunia eksternal dan internal. Asumsi dasar terapi
Gestalt yakni bahwa individu memiliki kapasitas untuk “mengatur diri” dalam
lingkungannya ketika menyadari apa yang terjadi dalam lingkungannya.
Dalam terapi Gestalt menjalin
hubungan dibutuhkan jika perubahan dan pertumbuhan ingin terjadi. Ketika kita
menjalin hubungan dengan lingkungan, maka perubahan tidak dapat dihindari.
Hubungan itu dilahirkan dengan penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan,
dan gerakan. Hubungan yang efektif berarti interaksi yang baik dengan alam dan
manusia lain tanpa menghilangkan rasa individualitas seseorang. Hal ini
merupakan kelengkapan individu yang kreatif yang diperbaharui secara terus
menerus pada lingkungannya (M. Polster,1987). Pelaku terapi Gestal juga
terfokus pada tantangan dalam menjalin hubungan, E. Polster dan Polster (1973)
menggambarkan lima aliran utama tantangan tersebut ; introjeksi, proyeksi,
retrofleksi, defleksi, dan pertemuan.
Introjeksi
: kecenderungan untuk menerima kepercayaan dan derajat orang lain tanpa kritis,
tanpa menjadikannya selaras dengan keadaan kita sebenarnya.
Proyeksi
: kebalikan introjeksi, dalam proyeksi kita ditunjukkan aspek-aspek tertentu diri
kita dalam lingkungan. Ketika kita sedang diproyeksi, kita mempunyai gangguan yang
membedakan antara dunia internal dan dunia luar, berupa sifat-sifat kepribadian
kita yang tidak konsisten dengan citra diri kita yang ditunjukkan didepan orang
lain. Retrofleksi : yaitu melihat diri kita ke belakang apa yang ingin kita
lakukan padaorang lain dan sedang
melakukan apa untuk diri kita, apa yang akan dilakukan oranglain pada kita. Defleksi
: merupakan proses penyimpangan, sehingga sulit untuk mempertahankan rasa
keterhubungan yang ditopang. Penyimpangan ini berupa berkurangnya pengalaman
emosional.
Konfluens
: berupa pengaburan perbedaan antara pribadi dan lingkungan. Konfluens
dalam
masalah hubungan meliputi ketidakterlibatan diri dalam konflik .
Levitsky dan Perls (1970) membuat
deskripsi yang jelas tentang sejumlah intervensi yang digunakan dalam terapi
Gestalt, diantaranya: Permainan Dialog Internal, salah satu tujuan terapi
Gestalt adalah untuk memadukan fungsi dan penerimaan aspekaspek kepribadian
yang sudah ditunjukkan dan ditolak. Terapi gestalt memberikan perhatian penuh
terhadap fungsi kepribadian ganda. Bagian utamanya adalah antara “top dog” dan
“under dog” dan terapi difokuskan pada pertentangan keduanya. Kelompok top dog
selalu merasa benar, berkuasa, bermoral, menuntut, jadi atasan, dan
manipulatif. Sedangkan kelompok under dog selalu merasa jadi korban aturan :
menjadi defensif, apologetik, tidak mendapat pertolongan dan lemah, serta tak
punya kuasa apapun. Kaum top dog berkarakter tirani dan selalu main tunjuk
sedangkan underdog selalu melanggar aturan. Konflik ini akan menimbulkan
kepribadian yang egois dan memerlukan sebuah dialog internal dalam tahap
terapinya. Membuat lingkaran merupakan ujian terapi gestalt yang melibatkan
orang didalam kelompok untuk saling berhadapan dan saling menghampiri untuk
saling berbicara dan melakukan sesuatu bersama yang lain. Ujian pembalikan
teori yang mendasari teknik pembalikan adalah bahwa klien melibatkan diri dalam
sesuatu yang penuh dengan kecemasan dan menjalin hubungan dengan bagian-bagian
dalam dirinya yang telah dipendam dan ditolak. Ujian latihan. seringkali kita
melakukan latihan untuk diri kita secara diam-diam supaya kita bisa memperoleh
sikap menerima. Ketika ditampilkan kita mengalami demam panggung, atau
kecemasan, karena kita takut tidak bisa melakukannya dengan baik. Latihan
internal ini memakan banyak energi dan tidak mengharapkan mengalami hal baru.
Latihan ini menimbulkan kesadaran nagaimana ia mencoba menemukan
harapan-harapan orang lain atas dirinya; merestui, menerima, dan menyukai
dirinya. Ujian memperbanyak, salah satu tujuan terapi Gestalt adalah bagi klien
untuk lebih menyadari terhadap isyarat yang disampaikan melalui bahasa tubuh.
gerakan, postur, isyarat merupakan komunikasi yang memiliki makna. Dalam
latihan ini klien diminta untuk mempersering gerakan atau isyarat secara
berulang-berulang (seperti menggerakkan tangan, kaki). Tetap berperasaan.
kebanyakan klien ingin keluar dari rasa takut dan menghindari perasaan kurang menyenangkan.
Ketika keadaan klien seperti itu maka ahli terapi harus memahami perasaannya.
Ahli terapi mendorong untuk lebih mendalami perasaan yang ingin dihindari,
menghadapinya dan melawannya. Pendekatan Gestalt terhadap kerja mimpi , dalam
psikoanalisis mimpi bisa ditafsirkan, wawasan intelektual ditekankan, dan
hubungan bebas digunakan untuk mengeksplorasi arti mimpi yang tidak disadari.
Terapi gestalt membawa kembali mimpi pada kehidupan, menciptakan kembali,
menghidupkan kembali mimpi seakan-akan mimpi itu berlangsung sekarang(memerinci
kejadian mimpi, kejadian, orang dan suasana hati yang terjadi dalam
mimpi).Sebagian mimpi merupakan
proyeksi diri. Klien diminta untuk
berbicara tentang mimpinya.
2. Behavior
Terapi
behavior mencakup sejumlah metode terapi yang berbeda-beda yang kesemuanya itu
didasarkan kepada teori-teori belajar. Para ahli behaviorist beranggapan bahwa perilaku maladaptif merupakan cara
untuk menanggulangi stress yang sudah “terbiasa” pada diri seseorang, sehingga
beberapa teknik behavior yang dikembangkan dalam percobaan dapat digunakan
untuk menggantikan respons maladaptif tersebut dengan respon baru yang lebih
tepat. Jika terapis psikoanilisis berkaitan dengan pemahaman konflik masa lalu,
maka terapi behavior lebih memutuskan langsung kepada perilaku itu sendiri
(Atkinson dkk., 1993).
Dua
aliran utama yang menjadi pijakan dalam metode-metode dan teknik-teknik
pendekatan terapi yang didasarkan kepada teori belajar adalah pengkondisian
klasik dan pengkondisian operan. Pengkondisian klasik atau pengkondisian
responden dari Pavlov, pada dasarnya melibatkan stimulus tak berkondisi (UCS)
yang secara otomatis membangkitkan respons berkondisi (CR), yang sama dengan
respons tak berkondisi (UCR) apabila diasosiasikan dengan stimulus berkondisi (CS),
sehingga lambat laun CS mengarahakan kemunculan CR (Corey, 1995).
Pengkondisian Operan melibatkan
pemberian ganjaran (reward) kepada
individu atas pemunculan tingkahlakunya (yang diharapkan) pada saat tingkah
laku itu muncul. Pengkondisian operan ini dikenal dengan istilah “pengkondisian
instrumental” karena memperlihatkan bahwa tingkah laku instrumental dapat
dimunculkan oleh organism yang aktif sebelum penguatan (reinforcement) diberikan untuk tingkah laku tersebut (Corey, 1995).
Berdasarkan kedua aliran dalam teori
belajar tersebut diatas, maka para ahli kemudian mengembangkan beberapa teknik
atau metode terapi. Berikut ini akan dibahas dua diantara beberapa
teknik/metode terapi behavior, yaitu Desentiasasi Sistematis dan Assertive Training.
Desentiasasi Sistematis
Desentisasi
sistematis adalah salah satu teknik yang digunakan untuk menghliangkan tingkah
laku yang diperkuat secara negatif, serta memunculkan tingkah laku atau respons
yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan tersebut. Teknik ini
mengarahkan agar klien dilatih untuk menampilkan suatu respons yang tidak
konsisten dengan kecemasan yang dialaminya (Corey, 1995).
Wolpe
(dalam Corey, 1995), seorang ahli yang pertama mengembangkan teknik desentisasi
sistematis, mengajukan argument bahwa segenap tingkah laku neurotik adalah
ungkapandari kecemasan serta kecemasan tersebut menurutnya dapat dihilangkan
dengan respons-respons yang secara inheren berlawanan dengan respon tersebut.
Dengan menggunakan pengkondisian klasik, maka kekuatan stimulus yang
menyebabkan kecemasan dapat dilemahkan, dan gejala kecemasan dapat dikendalikan
dan dihapus melalui penggantian stimulus.
Didalam
menerapkan teknik desentisasi sistematis, dikenal dua unsure utama yang tidak
dapat dipisahkan dari teknik ini, yaitu relaksasi dan hirarki kecemasan.
Relaksasi
adalah suatu prosedur bagi individu untuk melemaskan otot-otot (Martin dan
Pear, 1992). Melalui latihan relaksasi, individu belajar mengerutkan dan
mengendurkan otot, misalnya dimulai dari otot leher, wajah, otot tubuh, terus
sampai kebawah ke pergelangan kaki sampai kaki itu sendiri. Individu dapat
belajar bagaimana rasanya otot tersebut dalam keadaan benar-benar rileks
(dibandingkan dengan dalam keadaan tegang) dan dapat membedakan beberapa tingkatan
ketegangan (Atkinson dkk, 1993).
Hirarki
kecemasan adalah sejumlah situasi atau stimulus yang membuat
orang mengalami kecemasan. Keseluruhan situasi ini disusun mulai dari yang
tidak membuat seseorang merasakan kecemasan sampai dengan yang paling membuatnya
ketakutan (Atkinson dkk, 1993). Misalnya, seorang gadis yang mengalami
ketakutan ketika menghadpi seekor kecoa. Dibantu dengan terapis, ia dapat
menyusun suatu hirarki dari mendengar cerita mengenai kecoa (ringan) sampai
dengan ketika ia menghadapi kecoa tersebut (berat).
Pelatihan Assertif
Beberapa
orang merasa cemas dalam berbagai situasi sosial karena tidak tahu bagaimana
“berbicara secara terus terang” tentang apa yang mereka rasakan benar atau
“mengatakan tidak” jika orang lain berusaha memanfaatkan mereka. Misalnya
“ketika seseorang mendahului anda ketika anda sedang antri membeli karcis” atau
“atasan anda mengkritik anda dengan tidak benar”
Dengan
memberikan latihan respons yang tegas, seorang klien tidak hanya mengurangi
kecemasannya akan tetapi sekaligus juga mengembangkan teknik penanggulangan
yang efektif. Latihan asertif diberikan secara bertahap, dimulai dari latihan
permaianan peran dengan terapis sampai dengan menghadapi situasi kehidupan yang
sebenarnya (Atkinson, 1993).
3. Humanistik
Dasar
terapi humanistik adalah penekanan keunikan setiap individu serta memusatkan
perhatian pada dirinya. Dalam terapi ini para ahli tidak mencoba menafsirkan
perilaku penderita, tetapi bertujuan untuk memperlancar kajian pikiran dan
perasaan seseorang dan membantunya memcahkan masalahnya sendiri. Salah satu
pendekatan yang dikenal dalam terapi Humanistik ini adalah Terapi yang berpusat
kepada klien Client-centered therapy.
Client-Centered Therapy
Client-centered theraphy adalah terapi
yang dikembangkan oleh Carl Rogers yang didasarkan kepada asumsi bahwa klien
merupakan ahli yang paling baik bagi dirinya sendiri dan merupakan orang yang
mampu untuk memcahkan masalahnya sendiri. Tugas terapis mempermudah proses
pemecahan masalah mereka sendiri. Terapis juga tidak mengajukan pertanyaan
menyelidik, membuat penafsiran, atau menganjurkan serangkaian tindakan. Istilah
terapis dalam pendekatan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah fasilitator
(Atkinson dkk., 1993).
Untuk mencapai
pemahaman klien terhadap permasalahan yang dihadapi, maka dalam diri terapis
diperlukan beberapa persyaratan antara lain adalah : empati, rapport, dan ikhlas. Empati adalah
kemampuan memahami perasaan yang dapat mengungkapkan keadaan klien dan
kemampuan mengkomunikasikan pemahaman ini terhadap klien. Terapis berusaha agar
masalah yang dihadapi klien dipandang dari sudut pandang klien itu sendiri. Rapport adalah menerima klien dengan
tulus sebagaimana adanya, termasuk pengakuan bahwa orang tersebut memiliki
kemampuan untuk terlibat secara konstruktif dengan masalahnya. Ikhlas dalam
arti sifat terbuka, jujur, dan tidak berpura-pura atau bertindak di balik
topeng profesinya (Atkinson., 1993). Selain ketiga hal tersebut, di dalam
proses konseling harus terdapat pula adanya jaminan bahwa masalah yang
diungkapkan oleh klien dapat dijamin kerahasiannya serta adanya kebebasan bagi
klien untuk kembali lagi berkonsultasi atau tidak sama sekali jika klien sudah
dapat memahami masalahnya sendiri.
Menurt
Rogers (dalam Corey, 1995), pertanyaan “siapa saya?” dapat menjadi penyebab
kebanyakan seseorang datang ke terapis untuk psikoterapi. Kebanyakan dari
mereka ini bertanya : Bagaimana saya dapat menemukan diri nyata saya? Bagaimana
saya dapat menjadi apa yang saya inginkan? Bagaimana saya memahami apa yang
dibalik dinding saya dan menjadi diri sendiri? Oleh karena itu tujuan Client-centered theraphy adalah
menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha untuk membantu klien menjadi pribadi
yang dapat berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan tersebut terapis perlu
mengusahakan agar klien dapat menghilangkan topeng yang dikenakannya dan
mengarahkannya menjadi diri sendiri.
4. Psikoanalisis
Dasar
terapi psikoanalisis adalah konsep dari Sigmund freud dan beberapa pengikutnya.
Tujuan dari psikoanalisis adalah menyadarkan individu dari konflik yang tidak
disadari serta mekanisme pertahanan (Defense
mechanism) yang digunakan untuk mengendalikan kecemasan. Apabila motif dan
rasa takut yang tidak disadari telah diketahui, maka hal-hal tersebut dapat
diatasi dengan cara yang lebih rasional dan realistis.
Dalam
bentuknya yang asli, terapi psikoanalisis bersifat intensif dan panjang lebar. Terapis
dank lien pada umunya bertemu selama 50 menit beberapa kali dalam seminggu
sampai beberapa tahun. Oleh karena itu agar dapat lebih efisien, maka pertemuan
dapat dilakukan dengan pembatasan waktu dan penjadwalan waktu yang tidak
terlalu sering (Atkinson., 1993).
Teknik
Asosiasi
Bebas
Asosiasi
Bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisis. Terapis meminta klien agar
membersihkan pikirannya dari pikiran-pikiran dan renungan-renungan sehari-hari,
serta sedapat mungkin mengatakan apa saja yang muncul dan melintas dalam
pikiran. Cara yang khas adalah dengan mempersilkan klien berbaring diatas
balai-balai sementara terapis duduk dibelakangnya, sehingga tidak mengalihkan
perhatian klien pada saat asosiasinya mengalir dengan bebas (Corey, 1995). Asosiasi
bebas merupakan suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa
lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatis masa
lalu, yang kemudian dikenal dengan katarsis.
Katarsis hanya menghasilkan perbedaan sementara atas pengalaman-pengalaman
menyakitkan pada klien, tetapi tidak meminkan peran utama dalam proses treatment (Corey, 1995).
Penafsiran
(Interpretasi)
Penafsiran
merupakan prosedur dasar di dalam menganalisis asosiasi bebas, mimpi-mimpi,
resistensi, dan traferensi. Caranya adalah dengan tindakan-tindakan terapis
untuk menyatakan, menerangkan, dan mengajarkan klien makna-makna tingkah laku
apa yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resistensi, dan hubungan
terapeutik itu sendiri. Fungsi dari penafsiran ini adalah untuk mendorong ego
mengasimilasi bahan-bahan baru dan mempercepat proses pengungkapan alam bawah
sadar secara lebih lanjut. Penafsiran yang diberikan oleh terapis menyebabkan
adanya pemahaman dan tidak terhalanginya alam bawah sadar pada diri klien
(Corey, 1995)
Analisis
Mimpi
Analisis
mimpi adalah prosedur atau cara yang penting untuk mengungkap alam bawah sadar dan
memberikan kepada klien atas beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Selama
tidur, pertahanan-pertahanan melemah, sehingga perasaan-perasaan yang direpres
akan muncul ke permukaan, meski dalam bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi
merupakan “jalan istimewa menuju ketidaksadaran”, karena melalui mimpi tersebut
hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan dan ketakutan tak sadar dapat diungkapkan. Beberapa
motivasi sangat tidak dapat diterima oleh seseorang, sehingga akhirnya
diungkapkan dalam bentuk yang disamarkan atau disimbolkan dalam bentuk yang
berbeda (Corey, 1995).
Mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi
laten dan isi manifes. Isi laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan,
tersembunyi, simbolik dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan dan
mengancam, maka dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif tak sadar (yang
merupakan isi laten) ditransformasikan ke dalam isi manifes yang lebih dapat
diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi sebagaimana adanya. Sementara
tugas terapis adalah mengungkap makna-makna yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol
yang terdapat dalam isi manifes. Di dalam proses terapi, terapis juga dapat
meminta klien untuk mengasosiasikan secara bebas sejumlah aspek isi manifest impian
untuk mengungkap makna-makna yang terselubung (Corey, 1995).
Resistensi
Resistensi
adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan
bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien
dapat menunjukan ketidaksediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan dan
pengalaman tertentu. Freud memandang bahwa resistensi dianggap sebagai dinamika
tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap kecemasan yang
tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas
dorongan atau perasaan yang direpres tersebut (Corey, 1995).
Dalam
proses terapi, resistensi bukanlah sesuatu yang harus diatasi, karena merupakan
perwujuadan dari pertahanan klien yang biasanya dilakukan sehari-hari. Resistensi
ini dapat dilihat sebagai sarana untuk bertahan klien terhadap kecemasan, meski
sebenarnya menghambat kemampuannya untuk menghadapi hidup yang lebih memuaskan
(Corey, 1995).
Tranferensi
Resistensi
dan tranferensi merupakan dua hal inti didalam terapi psikoanalisis. Tramferensi
dalam keadaan normal adalah pemindahan emosi dari satu objek ke objek lainnya,
atau secara lebih khusus pemindahan emosi dari orangtua kepada terapis. Dalam keadaan
neurosis, merupakan kepuasaan libido klien yang diperoleh dari mekanisme
pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat dan kasih sayang pengganti. Seperti
seorang klien menjadi lekat dan jatuh cinta pada terapis sebagai pemindahan
orangtuanya (Corey, 1995).
Tranferensi
mengejawantah ketika dalam proses terapi ketika “urusan yang tidak selesai” (unfinished business) masa lalu klien
dengan orang-orang yang dianggap berpengaruh menyebabkan klien mendistorsi dan
bereaksi terhadap terapis sebagaimana ia bereaksi terhadap ayah/ibunya. Dalam hubungannya
dengan terapis, klien mengalami kembali perasaan menolak dan membenci
sebagaimana yang dulu dirasakan kepada orangtuanya. Tugas terapis adalah
membangkitkan neurosis transferensi klien dengan kenetralan, objektivitas,
keanoniman dan kepasifan yang relatif. Dengan cara ini, maka diharapkan klien
dapat menghidupkan kembali masa lampaunya dalam terapi dan memungkinkan klien
mampu memperoleh pemahaman atas sifat-sifat dari fiksasi-fiksasi,
konflik-konflik atau deprivasi-deprivasinya, serta mengatakan kepada klien
suatu pemahaman mengenai pengaruh masa lalu terhadap kehidupannya saat ini
(Corey, 1995).
Contoh Kasus :
Mbot memiliki seorang istri yang sangat kaya raya
yang bernama markonah, markonah adalah seorang pengusaha petromax tingkat
dunia, karena dirinya merasa penghasilannya lebih kecil disbanding istrinya,
mbot mengalami stress karena terlalu memikirkan hal tersebut walaupun
sebenarnya istrinya tidak mempermasalahkan hal itu. Mbot pun datang menemui
seorang psikolog yang bernama van bronckhorst, oleh van bronckhorst mbot
diminta untuk menceritakan permasalahannya sendiri, sampai hingga panjang lebar
mbot akhirnya mengerti apa yang harus dilakukannya. Kasus ini menggambarkan
terapi yang berpusat pada klien.
Referensi :
Gunarsa, Singgih D. Konseling dan psikoterapi. (2007). Jakarta : Gunung Mulia.
Setio, M. Buku
saku psikiatri. (1997). Jakarta : EGC.
Yustinus, M. Kesehatan
mental 3. (2006). Jakarta : Kanisius
Riyanti, Dwi. B. P.,
Hendro, P. Psikologi umum 2. (1998).
Jakarta : Universitas Gunadarma